Selasa, 28 Desember 2010

NATAL PAROKIKU DAMAI

Hari Natal dirayakan setiap tahun oleh umat Kristiani. Natal diperingati sebagai hari kelahiran Yesus Kristus, Sang Juru Selamat manusia. Kristus yang lahir di kota Betlehem sampai saat ini masih dikenang oleh para pengikut-Nya.

Malam ini aku merayakan Natal di gereja paroki. Gedung gereja yang bernuansa lokal Bali telah dihiasi dengan sebuah kandang natal dan hiasan gebogan  serta pemasangan ider-ider dan saput adegan yang semuanya mencerminkan budaya Bali. Pakaian adat Bali yang dikenakan oleh umat dan anggota koor menambah pula kekentalan nuansa pulau Dewata ini. Ciri khas Bali sangat terpelihara di paroki kami.

Natal memberi daya tarik tersendiri kepada umat. Hal ini dapat kita lihat dari membludaknya umat yang hadir. Gedung gereja tidak dapat menampung semuanya. Sehingga halaman gereja dan pastoran pun dipasangkan tenda agar umat dapat mengikuti perayaan Ekaristi malam Natal. Jumlah kursi yang disediakan ternyata juga kurang, sehingga banyak umat yang harus berdiri sepanjang perayaan Ekaristi.

Perayaan Ekaristi dipimpin oleh pastor Paroki Tritunggal Mahakudus Tuka – Romo Paulus Payong, SVD dan konselebran oleh pastor pembantu Romo Agus Hutrin, SVD. Misa dimulai pada pukul 19.00 WITA. Diawali dengan perarakan Kanak-kanak Yesus dari ruang Doa (bekas gedung gereja pertama) menuju kandang natal yang terletak di sayap kiri gereja.

Bupati Badung A.A. Gde Agung, SH meninjau pelaksanaan misa malam natal. Didampingi para pejabat teras kabupaten Badung, Bupati Badung berkunjung ke paroki Tuka untuk melihat secara langsung pelaksanaan ibadat malam Natal. Ini suatu wujud perhatian pemerintah terutama pemerintah terhadap pemeluk agama yang ada di wilayahnya. Sesepuh paroki kami Bapak Alex Nyoman Gunarsa mendampingi kunjungan Bapak Bupati. Setelah berdialog singkat rombongan Bupati pun meninggalkan area gereja.

Jumat, 10 Desember 2010

TERMINAL UBUNG

Tahun 1984, ketika pertama kali kutinggalkan tanah Bali. Kudengar lagu Teluk Bayur dari pengeras suara yang ada di tower terminal bus Ubung. Masih terngiang lagu itu sampai sekarang. Kalau diubah sedikit syairnya akan menjadi seperti ini
Selamat tinggal Pulau Baliku yang tercinta,
ku kan pergi jauh ke negeri seberang,
ku kan mencari ilmu di negeri orang,
bekal hidup nanti di hari tua..

Kini telah sepuluh tahun sudah aku menapakan kembali kakiku di Pulau Bali tercinta ini. Wajah kusam terminal bus Ubung masih kulihat tidak jauh berubah daripada 26 tahun yang lalu. Hanya bus yang singgah dan menaikkan penumpang lebih banyak jumlahnya. Penumpang pun tak ketinggalan semakin bertambah.

Dulu tahun 1984 bus yang ke Jawa masih bisa dihitung dengan jari. Sekarang sudah tidak terhitung lagi. Hampir setiap saat kalau kita mau keluar Bali ada saja bus yang akan membawanya. Tampaknya Pulau Bali telah menjadi tempat mencari penghidupan kedua setelah kota Metropolitan Jakarta.

Demikian pesatnya perkembangan transportasi, nasib Terminal Bus Ubung tak secerah kocek yang diraup oleh pemerinta kota dari restribusi bus dan mikrolet serta penumpang. Ku kembali menemukan wajah lamannya yang penuh dengan kekumuhan.

Kamis, 09 Desember 2010

BAKUL JAMU GENDONG

Kerasnya kehidupan yang harus dijalani membuat orang harus bekerja. Pekerjaan yang dijalankan bermacam-macam. Dari pekerjaan kasar sampai pekerjaan yang hanya mengandalkan kekuatan pikiran saja. Dari pekerjaan yang berpenghasilan rendah sampai pekerjaan yang berpenghasilan tinggi. Intinya hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup yang bagi masing-masing orang berbeda-beda.

Bakul jamu gendong. Sebuah pekerjaan yang dipandang sebelah mata oleh orang yang melihatnya. Profesi ini menjadi sumber penghasilan bagi seorang ibu yang berjualan jamu di terminal bus Ubung. Tak sengaja aku melihatnya menggelar dagangannya di antara para penumpang dan kru bus yang menunggu di bangsal terminal. Dentingan sendok dengan gelas berpadu oleh riuhnya obrolan para pembeli dan bakul jamu.

Segelas jamu yang diseduh, ditambah dengan dua telur ayam kampung telah memberikan penghasilan yang membuat sang ibu tersenyum. Senyum kebahagiaan yang terpancar dari bibirnya yang  bergincu tebal. Canda gurau dengan pembeli mengisyaratkan bahwa sang bakul jamu tak merasa risih berjualan.
Alangkah kuat mental bakul jamu itu, pikirku. Kalau aku menjadi seperti dia, belum tentu aku dapat melakukannya.

Senyum dan tawa bakul jamu membuatku menerawang jauh. Mataku tak berkedip memikirkan diri. Dengan lembaran ratusan ribu yang kuperoleh tiap aku gajian, kenapa aku belum bisa tersenyum lebar seperti bakul jamu tadi yang hanya memperoleh beberapa lembar uang ribuan? Di sela-sela ia berjualan datang lagi tukang kredit yang menagih hutang dan mencatat pembayaran hutang sang ibu. "Susah sekali ya mencari namaku?" Ibu itu berkelakar saat si tukang kredit mencari nama si bakul jamu dalam buku kreditnya tapi tak kunjung jua ketemu.

Aku berpikir lagi... Si bakul jamu punya hutang.. Tertawa lepas... Aku punya hutang kenapa tidak bisa tertawa lepas?