Selasa, 07 Desember 2010

MAKNA PENJOR DI BALI

MAKNA PENJOR (1)
Kalau lagi jalan-jalan di Bali saat ada perayaan agama, mungkin Anda akan sering menyaksikan parade indah penjor di depan rumah penduduk atau juga di jalanan yang Anda lewati.
Penjor biasanya dipasang 2 hari atau sehari sebelum pelaksanaan upacara seperti Galungan dan upacara yang di pura-pura desa.
Penjor dalam tradisi lokal diyakini sebagai perlambang Gunung, tempat yang tertinggi dan sebagai tempat bersemayam para dewa dan kekuatan suci.
Segala pala bungkah- pala gantung dan sesajen pada sanggah penjor, melambangkan persembahan terhadap Bhatara di Gunung Agung (Bhatara Giri Putri).
Seperti kita ketahui, Gunung adalah sumber dari kesuburan dan akhirnya ke kemakmuran.
  1. Hanya penjor yang menggunakan unsur lengkap (sanggah, padi, pala bungkah dan sebagainya) dapat dipergunakan dalam upacara keagamaan menurut fungsinya.
  2. Penjor untuk dekorasi (bukan Upacara keagamaan) tidak diperbolehkan mempergunakan unsur- unsur tersebut di atas, tetapi hanya menggunakan hiasan- hiasannya saja (bila dengan sampian hendaknya tanpa porosan).


MAKNA PENJOR (2)
[1] Penjor sama dengan penyejer bagi orang yang akan melakukan yadnya suci Mawidhi Widana. Kalau dalam zaman sekarang sama dengan bendera Merah Putih yang melambangkan kemerdekaan, merdeka dalam artian tidak ada lagi yang merintangi atau melarang untuk melaksanakan yadnya suci (kemerdekaan/kemenangan Dharma melawan Adharma). Bahan penjor dari bambu, yang melambangkan tingkah atau cara menuntun pelaksana, apa yang akan diunggulkan, itu yang dimuat/digantung di penjor. Bambu untuk penjor ujungnya tidak ada yang dipotong supaya tidak bermakna tiying tunggul karena kegunaan dan kekuatannya berkurang.

Dalam menancapkannya diharapkan batangnya lurus, ada ruas pada ujung bawah dan menancap ke tanah. Ini bermakna, dalam beryadnya atau dalam mengadakan suatu aktivitas mesti berdasarkan kemantapan (metu saking manah/pekayun) tur metulis ring lontar/buku, supaya tujuan yadnya tercapai.

Bambu penjor dibungkus ambu (daun enau muda) berwarna kuning, melambangkan keheningan kayun dan sampian melambangkan kesampaian kayun/tercapai tujuan dan kain putih melambangkan ketah (lumrah).

[2] Makna sanggah penjor. Sanggah yang di atasnya bundar merupakan perwujudan gunung. Gunung ika ngaran giri, giri ika ngaran griya untuk mendalami pengetahuan di bidang kewikuan. Sanggah yang di atasnya segi tiga melambangkan Tri Sakti/Tri Wisesa, lambang tiga keprabuan yaitu Brahma, Wisnu, Siwa.


Sumber : I Nyoman Wirta, Jl. Siulan, Perum Karya Samia Penatih I, Blok C 38 Denpasar, Balipost 27 Okt 2001

MAKNA PENJOR (3)
Umat Hindu dari jaman dahulu sampai sekarang bahkan sampai nanti dalam menghubungkan diri dengan Ida Sanghyang Widi Wasa memakai symbol-simbol. Dalam Agama Hindu simbol dikenal dengan kata niasa yaitu sebagai pengganti yang sebenarnya. Bukan agama saja yang memakai simbol, bangsa pun memakai simbol-simbol. Bentuk dan jénis simbol yang berbeda namun mempunyai fungsi yang sama.
Dalam upakara terdiri dari banyak macam material yang digunakan sebagai simbol yang penuh memiliki makna yang tinggi, dimana makna tersebut menyangkut isi alam (makrokosmos) dan isi permohonan manusia kehadapan Ida Sanghyang Widi Wasa. Untuk mencapai keseimbangan dari segala aspek kehidupan seperti Tri Hita Karana.
Masyarakat di Bali sudah tidak asing lagi dengan penjor. Masyarakat mengenal dua (2) jenis penjor, antara lain Penjor Sakral dan Penjor hiasan. Merupakan bagian dari upacara keagamaan, misalnya upacara galungan, piodalan di pura-pura. Sedangkan pepenjoran atau penjor hiasan biasanya dipergunakan saat adanya lomba desa, pesta seni dll. Pepenjoran atau penjor hiasan tidak berisi sanggah penjor, tidak adanya pala bungkah/pala gantung, porosan dll. Penjor sakral yang dipergunakan pada waktu hari raya Galungan berisi sanggah penjor, adanya pala bungkah dan pala gantung, sampiyan, lamak, jajan dll.
Definisi Penjor menurut I.B. Putu Sudarsana dimana Kata Penjor berasal dari kata “Penjor”, yang dapat diberikan arti sebagai, “Pengajum”, atau “Pengastawa”, kemudian kehilangan huruf sengau, “Ny” menjadilah kata benda sehingga menjadi kata, “Penyor” yang mengandung maksud dan pengertian, ”Sebagai Sarana Untuk Melaksanakan Pengastawa”.
Umat Hindu di Bali pada saat hari raya Galungan pada umumnya membuat penjor. Penjor Galungan ditancapkan pada Hari Selasa/Anggara wara/wuku Dungulan yang dikenal sebagai hari Penampahan Galungan yang bermakna tegaknya dharma. Penjor dipasang atau ditancapkan pada lebuh didepan sebelah kanan pintu masuk pekarangan. Bila rumah menghadap ke utara maka penjor ditancapkan pada sebelah timur pintu masuk pekarangan. Sanggah dan lengkungan ujung penjor menghadap ke tengah jalan. Bahan penjor adalah sebatang bambu yang ujungnya melengkung, dihiasi dengan janur/daun enau yang muda serta daun-daunan lainnya (plawa). Perlengkapan penjor Pala bungkah (umbi-umbian seperti ketela rambat), Pala Gantung (misalnya kelapa, mentimun, pisang, nanas dll), Pala Wija (seperti jagung, padi dll), jajan, serta sanggah Ardha Candra lengkap dengan sesajennya. Pada ujung penjor digantungkan sampiyan penjor lengkap dengan porosan dan bunga. Sanggah Penjor Galungan mempergunakan Sanggah Ardha Candra yang dibuat dari bambu, dengan bentuk dasar persegi empat dan atapnya melengkung setengah lingkaran sehingga bentuknya menyerupai bentuk bulan sabit.
Tujuan pemasangan penjor adalah sebagai swadharma umat Hindu untuk mewujudkan rasa bakti dan berterima kasih kehadapan Ida Sanghyang Widi Wasa. Penjor juga sebagai tanda terima kasih manusia atas kemakmuran yang dilimpahkan Ida Sang Hyang Widi Wasa. Bambu tinggi melengkung adalah gambaran dari gunung yang tertinggi sebagai tempat yang suci. Hiasan yang terdiri dari kelapa, pisang, tebu, padi, jajan dan kain adalah merupakan wakil-wakil dari seluruh tumbuh-tumbuhan dan benda sandang pangan yang dikarunia oleh Hyang Widhi Wasa.
Penjor Galungan adalah penjor yang bersifat relegius, yaitu mempunyai fungsi tertentu dalam upacara keagamaan, dan wajib dibuat lengkap dengan perlengkapan-perlengkapannya.
Dilihat dari segi bentuk penjor merupakan lambang Pertiwi dengan segala hasilnya, yang memberikan kehidupan dan keselamatan. Pertiwi atau tanah digambarkan sebagai dua ekor naga yaitu Naga Basuki dan Ananta bhoga. Selain itu juga, penjor merupakan simbol gunung, yang memberikan keselamatan dan kesejahteraan. Hiasan-hiasan adalah merupakan bejenis-jenis daun seperti daun cemara, andong, paku pipid, pakis aji dll. Untuk buah-buahan mempergunakan padi, jagung, kelapa, ketela, pisang termasuk pala bungkah, pala wija dan pala gantung, serta dilengkapi dengan jajan, tebu dan uang.
Oleh karena itu, membuat sebuah penjor sehubungan dengan pelaksanaan upacara memerlukan persyaratan tertentu dalam arti tidak asal membuat saja, namun seharusnya penjor tersebut sesuai dengan ketentuan Sastra Agama, sehingga tidak berkesan hiasan saja. Sesungguhnya unsur-unsur penjor tersebut adalah merupakan symbol-simbol suci, sebagai landasan peng-aplikasian ajaran Weda, sehingga mencerminkan adanya nilai-nilai etika Agama. Unsur-unsur pada penjor merupakan simbol-simbol sebagai berikut:
- Kain putih yang terdapat pada penjor sebagai simbol kekuatan Hyang Iswara.
- Bambu sebagai simbol dan kekuatan Hyang Brahma.
- Kelapa sebagai simbol kekuatan Hyang Rudra.
- Janur sebagai simbol kekuatan Hyang Mahadewa.
- Daun-daunan (plawa) sebagai simbol kekuatan Hyang Sangkara.
- Pala bungkah, pala gantung sebagai simbol kekuatan Hyang Wisnu.
- Tebu sebagai simbol kekuatan Hyang Sambu.
- Sanggah Ardha Candra sebaga: simbol kekuatan Hyang Siwa.
- Upakara sebagai simbol kekuatan Hyang Sadha Siwa dan Parama Siwa.
Didalam Lontar “Tutur Dewi Tapini, Lamp. 26”, menyebutkan sebagai berikut :
“Ndah Ta Kita Sang Sujana Sujani, Sira Umara Yadnva, Wruha Kiteng Rumuhun, Rikedaden Dewa, Bhuta Umungguhi Ritekapi Yadnya, Dewa Mekabehan Menadya Saraning Jagat Apang Saking Dewa Mantuk Ring Widhi, Widhi Widana Ngaran Apan Sang Hyang Tri Purusa Meraga Sedaging Jagat Rat, Bhuwana Kabeh, Hyang Siwa Meraga Candra, Hyang Sadha Siwa Meraga “Windhune”, Sang Hyang Parama Siwa Nadha, Sang Hyang Iswara Maraga Martha Upaboga, Hyang Wisnu Meraga Sarwapala, Hyang Brahma Meraga Sarwa Sesanganan, Hyang Rudra Meraga Kelapa, Hyang Mahadewa Meraga Ruaning Gading, Hyang Sangkara Meraga Phalem, Hyang Sri Dewi Meraga Pari, Hyang Sambu Meraga Isepan, Hyang Mahesora Meraga Biting (IB. PT. Sudarsana, 61; 03)
WHD No. 478 Nopember 2006.
Dikutip dari www.parisada.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar